PENDAHULUAN
Beberapa tahun yang lalu, siapa di antara kita yang tidak mengenal K.H. Zainudin M.Z? Siapa di antara kita yang tidak kenal dengan Aa Gym? Atau siapa di antara kita yang tidak kenal Bung Karno? Semua orang pasti mengenalnya. Mengapa mereka begitu dikenal luas oleh banyak orang? Apa kelebihan mereka dibanding orang-orang lainnya? Semuanya sepakat, kita mengenal ketiga tokoh itu karena mereka sangat pandai berbicara, pandai berdakwah, pandai berpidato.
Memang benar, orang yang tadinya bukan siapa-siapa mendadak bisa berubah menjadi orang penting dan terkenal hanya karena ia memiliki kemampuan berbicara yang menarik dan meyakinkan orang lain. Kemampuan berbicara diyakini dapat meningkatkan kualitas eksistensi dan aktualisasi seseorang di tengah-tengah lingkungannya. Kemampuan orang dalam berbicara dapat menjadikan orang itu memiliki daya tarik dan pesona luar biasa bagi orang lain, sehingga ia menjadi idola yang didambakan oleh banyak orang.
Secara alamiah, setiap orang mampu berbicara. Berbicara sudah merupakan aktivitas rutin kita sehari-hari. Hasil penelitian ilmiah membuktikan, bahwa sebagian besar waktu bangun kita digunakan untuk berbicara dengan orang lain. Nyaris tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahan untuk tidak berbicara. Kita boleh jadi tahan untuk tidak makan dan minum selama tiga hari berturut-turut (bahkan mungkin lebih), tetapi siapa yang tahan berpuasa bicara selama itu?
Namun demikian, sebagaimana telah diungkapkan tadi, berbicara yang akan dapat meningkatkan kualitas eksistensi (keberadaan) kita di tengah-tengah orang lain, bukanlah sekadar berbicara, tetapi berbicara yang menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Dengan kata lain, kita mesti berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika.
Retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang secara langsung bertatap muka. Oleh karena itu, istilah retorika seringkali disamakan dengan istilah pidato. Pada kesempatan ini, kita akan sama-sama membicarakan dan berlatih bagaimana kita harus mempersiapkan dan melakukan pidato, agar pidato kita itu memiliki daya tarik, informatif, rekreatif, dan persuasif.
JENIS-JENIS PIDATO
Berdasarkan pada ada tidaknya persiapan, sesuai dengan cara yang dilakukan waktu persiapan, kita dapat membagi jenis pidato kedalam empat macam, yaitu: impromtu, manuskrip, memoriter, dan ekstempore.
Pidato impromtu adalah pidato yang dilakukan secara tiba-tiba, spontan, tanpa persiapan sebelumnya. Apabila Anda menghadiri sebuah acara pertemuan, tiba-tiba Anda dipanggil untuk menampaikan pidato, maka pidato yang Anda lakukan disebut impromtu.
Bagi juru pidato yang berpengalaman, impromtu memiliki beberapa keuntungan: (1) Impromtu lebih dapat mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya, karena pembicara tidak memikirkan lebih dulu pendapat yang disampaikannya, (2) Gagasan dan pendapatnya dating secara spontan, sehingga tampak segar dan hidup, dan (3) Impromtu memungkinkan Anda terus berpikir.
Tetapi bagi juru pidato yang masih “hijau”, belum berpengalaman, keuntungan-keuntungan di atas tidak akan tampak, bahkan dapat mendatangkan kerugian sebagai berikut: (1) Impromtu dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah, karena dasar pengetahuan yang tidak memadai, (2) Impromtu mengakibatkan penyampaian yang tersendat-sendat dan tidak lancar, (3) gagasan yang disampaikan bisa “acak-acakan” dan ngawur, dan (4) Karena tiadanya persiapan, kemungkinan “demam panggung” besar sekali. Jadi, bagi yang belum berpengalaman, impromtu sebaiknya dihindari daripada Anda tampak “bodoh” di hadapan orang lain.
Pidato Manuskrip adalah pidato dengan naskah. Juru pidato membacakan naskah pidato dari awal sampai akhir. Di sini lebih tepat jika kita menyebutnya”membacakan pidato” dan bukan “menyampaikan pidato”. Pidato manuskrip perlu dilakukan jika isi yang disampaikan tidak boleh ada kesalahan. Misalnya, ketika Anda diminta untuk melaporkan keadaan keuangan DKM, berapa pemasukan, dari mana saja sumbernya, dan berapa pengeluaran serta untuk apa uang dikeluarkan, Anda perlu menuliskannya dalam bentuk naskah dan baru kemudian membacakannya.
Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut: (1) Kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya sehingga dapat menyampaikan arti yang tepat dan pernyataan yang gamblang, (2) Pernyataan dapat dihemat, karena manuskrip dapat disusun kembali, (3) Kefasihan bicara dapat dicapai karena kata-kata sudah disiapkan, (4) Hal-hal yang ngawur atau menyimpang dapat dihindari, dan (5) Manuskrip dapat diterbitkan atau diperbanyak.
Namun demikian, ditinjau dari proses komunikasi, pidato manuskrip kerugiannya cukup berat: (1) Komunikasi pendengar akan akan berkurang karena pembicara tidak berbicara langsung kepada mereka, (2) Pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik karena ia lebih berkonsentrasi pada teks pidato, sehingga akan kehilangan gerak dan bersifat kaku, (3) Umpan balik dari pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek atau memperpanjang pesan, dan (4) Pembuatannya lebih lama.
Pidato Memoriter adalah pidato yang ditulis dalam bentuk naskah kemudian dihapalkan kata demi kata, seperti seorang siswa madrasah menyampaikan nasihat pada acara imtihan. Pada pidato jenis ini, yang penting Anda memiliki kemampuan menghapalkan teks pidato dan mengingat kata-kata yang ada di dalamnya dengan baik. Keuntungannya (jika hapal), pidato Anda akan lancar, tetapi kerugiannya Anda akan berpidato secara datar dan monoton, sehingga tidak akan mampu menarik perhatian hadirin.
Pidato Ekstempore adalah pidato yang paling baik dan paling sering digunakan oleh juru pidato yang berpengalaman dan mahir. Dalam menyampaikan pidato jenis ini, juru pidato hanya menyiapkan garis-garis besar (out-line) dan pokok-pokok bahasan penunjang (supporting points) saja. Tetapi, pembicara tidak berusaha mengingat atau menghapalkannya kata demi kata. Out-line hanya merupakan pedoman untuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran kita. Keuntungan pidato ekstempore ialah komunikasi pendengar dan pembicara lebih baik karena pembicara berbicara langsung kepada pendengar atau khalayaknya, pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan penyajiannya lebih spontan. Pidato jenis ini memerlukan latihan yang intensif bagi pelakunya.
Jenis-jenis pidato juga dapat kita identifikasi berdasarkan tujuan pokok pidato yang kita sampaikan. Berdasarkan tujuannya, kita mengenal jenis-jenis pidato: pidato informatif, pidato persuasif, dan pidato rekreatif. Pidato informatif adalah pidato yang tujuan utamanya untuk menyampaikan informasi agar orang menjadi tahu tentang sesuatu. Pidato pesuasif adalah pidato yang tujuan utamanya membujuk atau mempengaruhi orang lain agar mau menerima ajakan kita secara sukarela bukan sukar rela. Pidato rekreatif adalah pidato yang tujuan utamanya adalah menyenangkan atau menghibur orang lain. Namun demikian, perlu kita sadari bahwa dalam kenyataannya ketiga jenis pidato ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan di antara ketiganya semata-mata hanya terletak pada titik berat (emphasis) tujuan pokok pidato kita.
TAHAP PERSIAPAN PIDATO
Sebelum berpidato, berdakwah, atau berceramah, kita harus mengetahui lebih dulu apa yang akan kita sampaikan dan tingkah laku apa yang diharapkan dari khalayak kita; bagaimana kita akan mengembangkan topik bahasan. Dengan demikian, dalam tahap persiapan pidato, ada dua hal yang harus kita lakukan, yaitu: (1) Memilih Topik dan Tujuan Pidato dan (2) Mengembangkan Topik Bahasan.
Memilih Topik dan Tujuan Pidato
Seringkali kita menjadi bingung ketika harus mencari topik yang baik, seakan-akan dunia ini kekeringan bahan pembicaraan, seakan-akan kita tidak memiliki keahlian apa-apa. Jangan bingung, karena sebenarnya setiap orang memiliki keahlian masing-masing, hanya kita seringkali tidak menyadarinya. Mang Endang mungkin tidak dapat berbicara tentang hukum waris dengan baik, tetapi Mang Endang dapat dengan lancar berbicara tentang cara memperbaiki mobil yang rusak. Pak Haji Holis mungkin akan sangat lancar berbicara tentang hukum waris, tetapi hampir pasti beliau akan gagap jika diminta menjelaskan bagaimana caranya memperbaiki mobil yang mogok. Inilah yang disebut keahlian spesifik. Setiap orang punya potensi untuk ahli di bidangnya masing-masing. Hal yang akan menjadi masalah bagi seseorang ketika harus berpidato adalah jika orang itu memaksakan diri berbicara tentang persoalan yang tidak dikuasainya, hal yang tidak dipahaminya (Numawi kitu, ulah maksakeun anjeun nyarios anu urang nyalira henteu ngartos kana naon anu dicarioskeun!).
Untuk membantu Anda menemukan topik bahasan dalam pidato, Profesor Wayne N. Thompson menyusun sitematika sumber topik sebagai berikut:
1. Pengalaman Pribadi:
a. Perjalanan
b. Tempat yang pernah dikunjungi
c. Wawancara dengan tokoh
d. Kejadian luar biasa
e. Peristiwa lucu
f. Kelakukan atau adat yang aneh
2. Hobby dan Keterampilan:
a. Cara melakukan sesuatu
b. Cara bekerja sesuatu
c. Peraturan dan tata cara
3. Pengalaman Pekerjaan dan Profesi
a. Pekerjaan tambahan
b. Profesi Keluarga
4. Masalah Abadi:
a. Agama
b. Pendidikan
c. Masalah kemasyarakatan
d. Persoalan pribadi
5. Kejadian Khusus:
a. Perayaan atau peringatan khusus (Misalnya, Maulud Nabi)
b. Peristiwa yang erat kaitannya dengan peringatan
6. Minat Khalayak:
a. Pekerjaan
b. Rumah tangga
c. Kesehatan dan penampilan
d. Tambahan ilmu
Kriteria Topik yang Baik
Untuk menentukan topik yang baik, kita dapat menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut:
1. Topik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan Anda
Topik yang paling baik adalah topik yang memberikan kemungkinan Anda lebih tahu daripada khalayak, Anda lebih ahli dibandingkan dengan kebanyakan pendengar. Jika Anda merupakan orang yang paling tahu tentang tata cara sholat yang baik dibandingkan dengan orang lain, maka berpidatolah dengan tema atau topik itu; sebaliknya jika Anda tidak begitu paham tentang tata cara sholat yang baik, jangan pernah Anda memaksakan diri untuk berbicara tentang masalah itu.
2. Topik harus menarik minat Anda
Topik yang enak dibicarakan tentu saja adalah topik yang paling Anda senangi atau topik yang paling menyentuh emosi Anda. Anda akan dapat berbicara lancar tentang kaitan berpuasa dengan ketentraman hati, sebab Anda pernah merasa tidak tenang ketika pernah tidak berpuasa secara sengaja di bulan ramadhan.
3. Topik harus menarik minat pendengar
Dalam berdakwah atau berpidato, kita berbicara untuk orang lain, bukan untuk diri kita sendiri. Jika tidak ingin ditinggalkan pendengar atau diacuhkan oleh hadirin, Anda harus berbicara tentang sesuatu yang diminati mereka. Walaupun hal-hal yang menarik perhatian itu sangat tergantung pada situasi dan latar belakang khalayak/hadirin, namun hal-hal yang bersifat baru dan indah, hal-hal yang menyentuh rasa kemanusiaan, petualangan, konflik, ketegangan, ketidakpastian, hal yang berkaitan dengan keluarga, humor, rahasia, atau hal-hal yang memiliki manfaat nyata bagi hadirin adalah topik-topik yang akan menarik perhatian.
4. Topik harus sesuai dengan pengetahuan pendengar
Betapapun baiknya topik, jika tidak dapat dicerna oleh khalayak, topik itu bukan saja tidak menarik tetapi bahkan akan membingungkan mereka. Oleh karena itu, sebelum Anda menentukan topik dakwah, ketahuilah terlebih dahulu bagaimana rata-rata tingkat pengetahuan pendengar yang menjadi khalayak sasaran pidato Anda. Gunakanlah bahasa, gaya bahasa, dan istilah-istilah yang dimengerti oleh hadirin, bukan istilah-istilah yang hanya dipahami oleh Anda (meskipun istilah itu keren sekali).
5. Topik harus jelas ruang lingkup dan pembatasannya
Topik yang baik tidak boleh terlalu luas, sehingga setiap bagian hanya memperoleh ulasan sekilas saja, atau “ngawur”. Misalnya, Anda memilih topik Agama, tetapi kita tahu agama itu luas sekali. Agama bisa menyangkut moralitas, sistem kepercayaan, cara beribadat, dan lain-lain. Agar topik kita jelas, ambilah misalnya tentang cara beribadat, lebih jelas lagi ambilah topik tentang sholat yang khusu’, dan seterusnya.
6. Topik harus sesuai dengan waktu dan situasi
Maksudnya, kita harus memilih topik pidato atau topik dakwah yang sesuai dengan waktu yang tersedia dan situasi yang terjadi. Jika Anda diberikan waktu untuk berbicara selama 10 menit, janganlah Anda memilih topik yang terlalu luas yang tidak mungkin dijelaskan dalam waktu 10 menit. Jika Anda harus berbicara di hadapan para santri yang rata-rata usianya belum akil baligh, janganlah Anda memilih topik dakwah tentang tata cara hubungan suami-istri, bicaralah tentang kebersihan sekolah, misalnya.
7. Topik harus dapat ditunjang dengan bahan yang lain
Jika Anda memilih topik tentang Hadits Shahih dan Dhoif, lengkapi bahan pembicaraan Anda dengan sumber-sumber rujukan (bisa berupa: kitab, buku, atau perkataan ulama) yang sesuai.
Merumuskan Judul Pidato
Hal yang erat kaitannya dengan topik adalah judul. Bila topik adalah pokok bahasan yang akan diulas, maka judul adalah nama yang diberikan untuk pokok bahasan itu. Seringkali judul telah dikemukakan lebih dahulu kepada khalayak, karena itu judul perlu dirumuskan terlebih dahulu. Judul yang baik harus memenuhi tiga syarat, yaitu: relevan, propokatif, dan singkat. Relevan artinya ada hubungannya dengan pokok-pokok bahasan; Propokatif artinya dapat menimbulkan hasrat ingin tahu dan antusiasme pendengar; Singkat berarti mudah ditangkap maksudnya, pendek kalimatnya, dan mudah diingat.
Menentukan Tujuan Pidato
Ada dua macam tujuan pidato, yakni: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pidato biasanya dirumuskan dalam tiga hal: memberitahukan (informatif), mempengaruhi (persuasif), dan menghibur (rekreatif).
Tujuan khusus ialah tujuan yang dapat dijabarkan dari tujuan umum. Tujuan khusus bersifat kongkret dan sebaiknya dapat diukur tingkat pencapaiannya atau dapat dibuktikan segera.
Hubungan antara topik judul, tujuan umum, dan tujuan khusus dapat dilihat pada contoh-contoh di bawah ini:
1. Topik : Faedah memiliki sifat pemaaf
Judul : Pemaaf Sumber Kebahagiaan
Tujuan Umum : Informatif (memberi tahu)
Tujuan Khusus: Pendengar mengetahui bahwa:
a. Sifat dendam menimbulkan gangguan jasmani dan rohani
b. Sifat pemaaf menimbulkan ketentraman jiwa dan kesehatan
2. Topik : Keuntungan mengikuti sholat berjamaah
Judul : Sholat berjamaah adalah keutamaan sholat
Tujuan Umum : Mempengaruhi (Persuasif)
Tujuan Khusus :
a. Pendengar memperoleh keyakinan tetantang keutamaan sholat berjamaah
b. Pendengar berbondong-bondong sholat berjamaah di masjid
3. Topik : Kisah-kisah lucu zaman Nabi dan Khalifah
Judul : Yang benar menang, yang salah kalah
Tujuan Umum : Menghibur (rekreatif)
Tujuan Khusus :
Pendengar dapat menikmati kisah lucu Ratu Balqis dikerjai oleh Nabi Sulaiman, Siti Zulaikha menggoda Nabi Yusuf, atau Abu Nawas menjawab teka-teki raja, dan lain-lain.
Perlu diingat, bahwa dalam kenyataannya tidak ada pidato yang berdiri sendiri. Sebuah pidato atau topik pidato bisa berisi ketiga-tiganya; artinya, dalam pidato atau dakwah bisa ada unsur informatif, sekaligus persuasif dan rekreatif. Dengan kata lain, dalam sebuah kegiatan berdakwah, bisa ada unsur memberitahu, mempengaruhi (mengajak), dan juga menghibur. Coba Anda ingat kembali, bagaimana K.H. Zainudin M.Z. berdakwah, di samping memberi ceramah, beliau pun menyeru dan ngabodor. Dakwah yang baik adalah yang mengandung ketiga unsur tujuan tersebut.
Teknik Mengembangkan Pokok Bahasan
Bila topik yang baik sudah ditemukan, kita memerlukan keterangan untuk menunjang topik tersebut. Keterangan penunjang (supporting points) dipergunakan untuk memperjelas uraian, memperkuat kesan, menambah daya tarik, dan mempermudah pengertian.
Ada enam macam teknik pengembangan bahasan dalam berpidato:
1. Penjelasan
2. Contoh
3. Analogi
4. Testimoni
5. Statistik
6. Perulangan
Penjelasan. Penjelasan adalah memberikan keterangan terhadap istilah atau kata-kata yang disampaikan. Memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan cara memberikan pengertian atau definisi. Misalnya, istilah Iman kepada Allah Anda jelaskan dengan kalimat: “Iman adalah rasa percaya dan yakin akan kebenaran adanya Allah di dalam hati dan dibuktikan dengan perbuatan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.”
Contoh. Contoh adalah upaya untuk mengkongkretkan gagasan, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Contoh dalam pidato dapat berupa cerita yang rinci yang disebut ilustrasi. Untuk memberikan contoh tetantang kesabaran, misalnya Anda menggunakan cerita tentang kesabaran Nabi Ayub dalam menghadapi cobaan Allah melalui penyakit kulit yang dideritanya.
Analogi. Analogi adalah perbandingan antara dua hal atau lebih untuk menunjukkan persamaan atau perbedaannya. Ada dua macam analogi: analogi harfiyah dan analogi kiasan.
Analogi harfiyah (literal analogy) adalah perbandingan di antara objek-objek dari kelompok yang sama, karena adanya persamaan dalam beberapa aspek tertentu. Misalnya, membandingkan manusia dengan monyet secara biologis. Analogi kiasan adalah perbandingan di antara objek-objek di antara kelompok yang tidak sama. Misalnya, membandingkan ke-Esaan Allah dengan menggunakan ayat Al-Quran dan Injil.
Testimoni. Testimoni ialah pernyataan ahli yang kita kutip untuk menunjang pembicaraan kita. Pendapat ahli itu dapat kita ambil dari pidato seorang ahli, tulisan di surat kabar, acara televisi, dan lain-lain, termasuk kutipan dari kitab suci, hadits, dan sejenisnya. Misalnya, untuk memperkuat perkataan Anda tentang betapa mulianya akhlak Nabi Muhammad SAW, Anda mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah atau Bukhori-Muslim.
Statistik. Statistik adalah angka-angka yang dipergunakan untuk menunjukkan perbandingan kasus dalam jenis tertentu. Statistik diambil untuk menimbulkan kesan yang kuat, memperjelas, dan meyakinkan. Misalnya, untuk melukiskan betapa bokbroknya akhlak generasi muda di Indonesia, Anda menggunakan kalimat, “Wahai saudara-saudara, menurut hasil penelitian, saat ini lebih dari 65 persen remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks sebelum nikah…”
Perulangan. Perulangan adalah menyebutkan kembali gagasan yang sama dengan kata-kata yang berbeda. Perulangan berfungsi untuk menegaskan dan mengingatkan kembali.
Dengan menggunakan keenam teknik pengembangan pokok bahasan tersebut (secara berganti-ganti), maka pidato atau dakwah yang Anda sampaikan insya Allah tidak akan membosankan pendengar, tapi sebaliknya dakwah Anda akan tampak penuh variasi dan tidak membosankan untuk didengar.
TAHAP PENYUSUNAN PIDATO
Seringkali kita mendengar seseorang yang berpidato panjang tanpa memperoleh apa-apa daripadanya selain kelelahan dan kebosanan. Hal ini biasanya disebabkan pembicara mempunyai bahan yang banyak tetapi tidak mampu mengorganisasikannya. Pidato yang tidak teratur, bukan hanya menjengkelkan pendengarnya, tetapi juga akan membingungkan pembicaranya itu sendiri. Ibarat pakaian yang harganya sangat mahal, pasti akan membuat orang yang melihatnya tertawa sisnis jika dipakai secara acak-acakan. Herbert Spencer pernah berkata, “Kalau pengetahuan orang itu tidak teratur, maka makin banyak pengetahuan yang dimilikinya, makin besar pula kekacauan pikirannya.”
Pada pidato, keteraturan merangkai kata-kata akan sangat menentukan daya tarik pidato itu sendiri. Bila tentara bermain-main dengan peluru, maka orator (jago pidato) bermain dengan kata-kata. Bagaimana kata-kata itu harus kita mainkan dalam pidato? Kita akan membahasnya secara teknis.
Prinsip-prinsip Komposisi Pidato
Banyak cara menyusun pesan pidato, tetapi semuanya harus didasari dengan tiga prinsip komposisi. Prinsip-prinsip ini mempengaruhi seluruh organisasi pesan. Raymond S. Ross berkata, “These three great rhetorical principles…have a profound bearing upon how we should organize messages.” Ketiga prinsip itu adalah: kesatuan (unity), pertautan (coherence), dan titik berat (emphasis).
Kesatuan (unity)
Komposisi yang baik harus merupakan kesatuan yang utuh, yang meliputi kesatuan dalam isi, tujuan, dan sifat (mood). Dalam isi, harus ada gagasan tunggal yang mendominasi seluruh uraian, yang menentukan dalam pemilihan bahan-bahan penunjang. Bila tema dakwah kita adalah “Pembuktian Adanya Tuhan Secara Aqliyah”, maka kita tidak membicarakan sifat-sifat Tuhan, macam-macam Tuhan, atau dalil-dalil naqli tentang adanya Tuhan. Di sini kita mungkin hanya membicarakan argumentasi logika dan moral tentang keberadaan Tuhan dihubungkan dengan mahluk ciptaan-Nya; setiap benda ciptaan dihubungkan dengan yang menciptakannya; ada ciptaan pasti ada pencipta.
Komposisi juga harus mempunyai satu macam tujuan. Satu tujuan di antara yang tiga -memberitahukan, mempengaruhi, dan menghibur- harus dipilih. Dalam pidato mempengaruhi (persuasif) boleh saja kita menyelipkan cerita-cerita lucu, sepanjang cerita lucu itu menambah daya persuasi. Bila cerita lucu itu tidak ada hubungannya dengan persuasi, betapa pun menariknya ia harus kita buang. Dalam pidato informatif, humor dipergunakan dengan pertimbangan dapat memperjelas uraian.
Kesatuan juga harus tampak dalam sifat pembicaraan (mood). Sifat pembicaraan mungkin serius, informal, formal, anggun, atau bermain-main. Kalau Anda memilih sifat informal, maka suasana formalitas harus mendominasi seluruh uraian. Ini menentukan pemilihan bahan, gaya bahasa, atau pemilihan kata-kata. Misalnya, dalam suasana informal gaya pidato seperti bercakap-cakap (conversational) dan akrab (intimate) lebih tepat untuk digunakan dibanding gaya pidato ceramah.
Untuk pempertahankan kesatuan dalam pidato, bukan saja diperlukan ketajaman pemikiran, tetapi juga kemauan untuk membuang hal-hal yang mubazir. Kurangnya kesatuan akan menyebankan pendengar menilai pidato kita sebagai pidato yang “ngawur” bertele-tele, tidak jelas apa yang dibicarakan, “meloncat-loncat”.
Pertautan (coherence)
Pertautan menunjukkan urutan bagian uraian yang berkaitan satu sama lain. Pertautan menyebabkan perpindahan dari pokok yang satu kepada pokok yang lainnya berjalan lancar. Sebaliknya, hilangnya pertautan menimbulkan gagasan yang tersendat-sendat atau pendengar tidak akan mampu menarik gagasan pokok dari seluruh pembicaraan. Ini biasanya disebabkan perencanaan yang tidak memadai, pemikiran yang ceroboh, dan penggunaan kata-kata yang jelek.
Untuk memelihara pertautan dapat dipergunakan tiga cara: ungkapan penyambung (connective phrases), pararelisme, dan gema (echo). Ungkapan penyambung adalah sebuah kata atau lebih yang digunakan untuk merangkaikan bagian-bagian. Contoh-contoh ungkapan penyambung: karena itu, walaupun, jadi, selain itu, sebaliknya, misalnya, sebagai contoh, dengan perkataan lain, sebagai ilustrasi, bukan saja, … dan sebagainya.
Paralelisme ialah mensejajarkan struktur kalimat yang sejenis dengan ungkapan yang sama untuk setiap pokok pembicaraan. Misalnya, “Ulama sebagai Pemuka Pendapat memiliki empat ciri: Ia mengetahui lebih banyak, ia berpendidikan lebih tinggi, ia mempunyai status sosial yang lebih terhormat, dan ia lebih sering bepergian ke luar sistem sosial dibandingkan dengan anggota masyarakat yang lain.”
Gema (echo) berarti kata atau gagasan dalam kalimat terdahulu diulang kembali pada kalimat baru. Pada contoh di bawah ini, yang dicetak miring adalah “gema”.
Keempat ciri ulama di atas sangat menentukan tingkat partisipasinya dalam mengemukakan pendapat. Yang disebut terakhir, yaitu sering bepergian ke luar sistem sosial, sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan ulama dalam menyerap ide-ide pembaruan.
Gema dapat berupa persamaan kata (sinonim), perulangan kata, kata ganti seperti itu, itu, hal tersebut, ia, mereka, atau istilah lain yang menggantikan kata-kata yang terdahulu.
Titik Berat (emphasis)
Bila kesatuan dan pertautan membantu pendengar untuk mengikuti dengan mudah jalannya pembicaraan, titik berat menunjukkan mereka pada bagian-bagian penting yang patut diperhatikan. Hal-hal yang harus dititikberatkan bergantung pada isis komposisi pidato, tetapipokok-pokoknya hampir sama. Gagasan utama (central ideas), ikhtisar uraian, pemikiran baru, perbedaan pokok, hal yang harus dipikirkan khalayak pendengar adalah contoh-contoh bagian yang harus dititikbrratkan, atau ditekankan. Dalam pesan tertulis, titik berat dapat dinyatakan dengan tanda garis bawah, huruf miring, huruf tebal, atau huruf besar. Dalam uraian lisan, titik berat dapat dinyatakan dengan hentian, tekanan suara yang dinaikkan, perubahan nada (intonasi), isyarat, dan sebagainya. Dapat pula didahului dengan keterangan penjelas seperti “Akhirnya sampailah pada inti pembicaraan saya”, atau “Saudara-saudara, yang terpenting bagi kita adalah …”, dan sebagainya.
Teknik Menyusun Pesan Pidato
H.A. Overstreet, seorang ahli ilmu jiwa untuk mempengaruhi manusia, berkata, “let your speech march”. Suruh pidato Anda berbaris tertib seperti barisan tentara dalam suatu pawai. Pidato yang tersusun tertib (well-organized) akan menciptakan suasana yang favorable, membangkitkan minat, memperlihatkan pembagian pesan yang jelas, sehingga memudahkan pengertian, mempertegas gagasan pokok, dan menunjukkan perkembangan pokok-pokok pikiran secara logis. Pengorganisasian pesan dapat dilihat menurut isi pesan itu sendiri atau dengan mengikuti proses berpikir manusia. Yang pertama kita sebut organisasi pesan (messages organization) dan yang kedua disebut pengaturan pesan (message arrangement).
Organisasi Pesan
Organisasi pesan dapat mengikuti enam macam urutan (sequence), yaitu: deduktif, induktif, kronologis, logis, spasial, dan topikal. Urutan deduktif dimulai dengan menyatakan dulu gagasan utama, kemudian memperjelasnya dengan keterangan penunjang, penyimpulan, dan bukti. Sebaliknya, dalam urutan induktif kita mengemukakan perincian-perincian dan kemudian menarik kesimpulan. Jika Anda menyatakan dulu mengapa perlu menghentikan kebiasaan merokok, lalau menguraikan alasan-alasannya, Anda menggunakan urutan deduktif. Tetapi bila Anda menceritakan sekian banyak contoh dan pernyataan dokter tentang akibat buruk merokok dan kemudian Anda menyimpulkan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, maka Anda menggunakan urutan induktif.
Dalam urutan kronologis, pesan disusun berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa. Bila Anda diminta untuk berbicara tentang perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra dan Mi’raj, Anda dapat membagi pesan sebagai berikut: (1) Kisah Perjalanan Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan (2) Kisah Perjalan Nabi dan Malaikat Jibril dari Masjidil Aqsa ke Mustawan.
Dalam urutan logis, pesan disusun berdasarkan sebab ke akibat atau dari akibat ke sebab. Bila Anda menjelaskan proses kekufuran dari sebab-sebabnya lalu ke gejala-gekalnya, maka Anda mengikuti urutan logis dari sebab ke akibat. Tetapi jika Anda memulai pembicaraan dari gejala-gejala atau tanda-tanda kekufuran, seperti seringnya seseorang bebuat syirik, meninggalkan kewiban sholat, memuja kuburan, lalu kemudian menjelaskan sebab-sebabnya, maka Anda mengikuti urutan logis dari akibat ke sebab.
Dalam urutan spasial, pesan disusun berdasarkan tempat. Cara ini dipergunakan jika pesan berhubungan dengan subjek geografis atau keadaan fisik lokasi. Ceramah tentang kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam, dapat disusun: (1) Kisah perjuangan Nabi di ketika di Mekah dan (2) Kisah Perjuangan Nabi di Madinah.
Dalam urutan topikal, pesan disusun berdasarkan topik pembicaraan: klasifikasinya, dari yang penting ke yang kurang penting, dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dikenal ke yang asing. Ketika Anda diminta untuk berceramah tentang “Tiga Mutiara Hidup”, Anda menyusun topik pembicaraan mulai dari membicarakan masalah: Iman, Islam, dan Ikhsan, maka pidato Anda dapat dikatakan menggunakan urutan secara kronologis.
Pengaturan Pesan
Bila pesan sudah terorganisasi dengan baik, kita masih perlu menyesuaikan organisasi pesan ini dengan cara berpikir khalayak pendengar. Urutan pesan yang sejalan dengan proses berpikir manusia disebut oleh Alan H. Monroe sebagai motivated sequence (urutan bermotif). Menurut Monroe, ada lima tahap urutan bermotif: perhatian (attention), kebutuhan (needs), pemuasan (satisfaction), visualisasi (visualization), dan tindakan (action).
Dengan demikian, pidato yang baik dan efektif adalah pidato yang sejak awal mampu membangkitkan perhatian khalayak pendengar, mampu membuat pendengar merasakan adanya kebutuhan tertentu, memberikan petunjuk bagaimana cara memuaskan kebutuhan tersebut, dapat menggambarkan dalam pikirannya penerapan usul yang dianjurkan kepadanya, dan akhirnya mampu menggerakkan khalayak untuk bertindak sesuai anjuran kita.
Misalnya, kita akan mengajak seseorang untuk memotong rambutnya yang gondrong. Anda memuali pembicaraan dengan melontarkan perkataan: “Lihat rambutmu!!! Kutu-kutu bergelantungan dengan bebasnya…” Anda sedang memasuki tahap perhatian. Lalu Anda berkata lagi, “Kutu-kutu itu tentu membuat kepalamu gatal dan kamu pasti tidak bisa tidur nyenyak…” Anda tengah berada pada tahap membangkitkan kebutuhan. “Memotong rambut itu mudah dan murah, cukup dengan uang Rp 3.000 atau bahkan gratis…” Anda masuk pada tahap pemuasan. “Jika kamu tetap membiarkan rambutmu jabrig begitu dan membebaskan kutu-kutu menyedot darahmu, kamu tampak seperti orang kurang waras dan mustahil gadis-gadis di desa ini akan tertarik kepadamu…, tapi jika kamu cepat memotong dan merapihkan rambutmu, kutu-kutu itu akan segera mengucapkan selamat tinggal pada kepalamu dan gadis-gadis cantik akan mengucapkan selamat datang arjunaku…” Anda sudah masuk pada tahap visualisai. “Ayo, cukurlah rambutmu sekarang…!!!” Anda melakukan tahap tindakan.
Membuat Garis-garis Besar Pidato
Garis-garia besar (out-line) pidato merupakan pelengkap yang amat berharga bagi pembicara yang berpengalaman dan merupakan keharusan bagi pembicara yang belum berpengalaman. Garis besar pidato ibarat peta bumi bagi komunikator yang akan memasuki daerah kegiatan retorika. Peta ini memberikan petunjuk dan arah yang akan dituju. Garis besar yang salah akan mengacaukan “perjalanan” pembicaraan, dan garis besar yang teratur akan menertibkan “jalannya” pidato.
Garis-garis besar pidato yang baik terdiri dari tiga bagian: pengantar, isi, dan penutup. Dengan menggunakan urutan bermotif dari Alan H. Monroe, kita dapat membaginya menjadi lima bagian: perhatian, kebutuhan, pemuasan, visualisasi, dan tindakan. Perhatian ditempatkan pada pengantar; kebutuhan, pemuasan, dan visualisasi kita tempatkan pada isi; dan tindakan kita tempatkan pada penutup pidato.
TAHAP MENYAMPAIKAN PIDATO
Kita seringkali menyaksikan seseorang yang berpidato di mimbar bergetar (dalam bahasa Sunda: ngadegdeg), suaranya tersendat-sendat, muka dan badanya basah kuyup karena guyuran keringat yang mengalir deras. Hadirin diam, terkesima…bukan karena kagum pada penampilanny tetapi karena ………. kasihan dan tidak tega melihatnya. Dalamilmu komunikasi, keadaan seperti itu disebut kecemasan berkomunikasi (communication apprehension).
Kecemasan berkomunikasi adalah batu sandungan yang besar bagi seorang pembicara. Ia menghilangkan kepercayaan diri. Kecemasan berkomunikasi amat mempengaruhi kredibilitas komunikator. Betapa pun bagusnya pesan yang Anda sampaikan, betapa pun sistematisnya organisasi pesan yang Anda buat, tanpa kepercayaan diri dan kredibilitas, Anda akan kehilangan pengaruh dan pendengar sekaligus.
Sebab-sebab Kecemasan Komunikasi
Orang mengalami kecemasan komunikasi disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Ia tidak dapat memperkirakan apa yang diharpkan pendengar. Ia menghadapi sejumlah ketidakpastian. Untuk mengatasi sebab pertama ini, latihan dan pengalaman sangat diperlukan. Pengetahuan tentang retorika akan memberikan kepastian ke[adanya untuk memulai, melanjutkan, dan mengakhiri pembicaraan. Latihan-latihan akan memberikan pengalaman. Melalui latihan, ia akan dapat memastikan, atau paling tidak menduga, reaksi pendengarnya. Resepnya: “Bisa karena biasa”. Dale Carnegie memberikan nasihat yang singkat, “Lakukan apa yang Anda takut melakukannya”. Jadi, jika Anda takut berbicara di depan khalayak (orang banyak), cobalah berbicara di depan mereka.
Sayang sekali, orang yang takut berpidato justru selalu menghindari kesempatan untuk itu. Makin sering ia menghindari bicara, makin sulit ia untuk melakukannya. Bila suatu saat ia “terjebak” untuk berbicara, ia tentu akan mengalami peristiwa yang sangat traumatis. Terjadilah lingkaran setan, ia makin membenci pidato, dan karena kebenciannya itu ia akan gagal terus dalam berpidato. Akhirnya, terbentuklah citra diri (self image): Saya tidak mempunyai bakat untuk berpidato. Saya tidak mampu berpidato. Saya memang tidak dilahirkan untuk berpidato, tetapi untuk mendengar. Dengan citra diri seperti itu, ia tidak akan memiliki kepercayaan diri (self confidence). Tanpa kepercayaan diri, ia gagal. Kegagalan akan memperburuk lagi citra diri. Begitulah seterusnya, seperti lingkaran setan.
Kedua, orang menderita kecemasan komunikasi karena tahu ia akan dinilai oleh orang lain. Berhadapan dengan penilaian membuat orang menjadi gugup atau nervous. Penilaian dapat mengangkat dan menjatuhkan harga dirinya. Tetapi pada umumnya kita memperhatikan yang kedua. Bagaimana bila kita dipermalukan orang? Alangkah malunya bila humor yang kita buat tidak membuat orang tertawa, tetapi justru membuat orang menertawakan kita? Bagaimana kalau kita kelihatan tolol dan bodoh di hadapan orang banyak? Semua yang dutakutkan itu sebenarnya lebih banyak terdapat di dalam pikiran dan perasaan kita daripada dalam kenyataan. Seandainya pidato kita gagal, harga diri kita tidaklah akan jatuh serendah itu. Apalagi, berdasarkan pengalaman, kegagalan itu hanya terjadi pada percobaan-percobaan yang pertama saja, dan khalayk pendengar pun pasti memakluminya. Bukankah kita dulu waktu kecil pernah jatuh berkali-kali sebelum dapat berjalan dan berlari kencang seperti sekarang ini?
Ketiga, kecemasan komunikasi dapat menimpa pemula, bahkan mungkin juga menimpa orangorang yang terkenal sebagai pembicara yang baik. Hal ini dapat terjadi jika pembicara berhadapan dengan situasi yang asing dan ia tidak siap. Misalnya, ia diminta berbnicara dihadapan khalayak yang tidak ia kenal dan mereka tidak mengenalnya; atau ia harus berbicara tentang persoalan yang sama sekali tidak dikuasainya; atau ia tidak punya cukup waktu untuk membuat persiapan. Cara mengatasinya: lakukan analisis situasi dan analisis khalayak, carilah topik pembicaraan yang paling Anda kuasai sehingga Anda tampak kredibel.
Cara-cara Penyampaian Pidato
Tahapan yang dilakukan dalam menyampaikan pidato secara garis besar terdiri dari tiga tahap: (1) Tahap Membuka Pidato, (2) Tahap Mengembangkan Isi Pidato, dan (3) Tahap Menutup Pidato.
Pembukaan pidato adalah bagian penting dan menentukan. Kegagalan dalam membuka pidato akan menghancurkan seluruh komposisi dan presentasi pidato. Tujuan utama pembukaan pidato adalah membangkitkan perhatian , memperjelas latar belakang pembicaraan, dan menciptakan kesan yang baik mengenai komunikator. “Perhatian akan menentukan tindakan,” kata William James. Tetapi kesan pertama akan menentukan sikap. Karena itu seorang pembicara harus memulai pembicaraannya dengan penuh kesungguhan, sehingga ia kelihatan mantap, berwibawa, dan mampu. Ucapan-ucapan apologetis seperti minta maaf atau sikap merendahkan diri semuanya harus Anda hindari. Walaupun demikian, tidak baik pula Anda menepuk dada dan menyombongkan diri.
Hal pertama kali yang harus Anda lakukan dalam tahap ini (tahap pembukaan) adalah mengesankan agar pendengar siap untuk memperhatikan Anda. Bangkitkan perhatian pendengar pada Anda dan topik yang akan Anda sampaikan! Bagaimana caranya? Di bawah ini diuraikan pedoman dalam membuka pidato, Anda dapat memilih salah satu di antara cara-cara di bawah ini:
Langsung menyebutkan pokok persoalan.
Komunikator (orang yang melakukan pidato) menyebutkan ahal yang akan dibicarakannya dan memberikan kerangka pembicaraannya. Cara ini biasanya dilakukan bila topik adalah pusat perhatian khalayak. Di depan hadirin yang sudah lama menanti penjelasan tentang hukum waris (faro’id), seorang mubaligh memulai pidatonya sebagai berikut:
Saudara-saudara, pagi ini saya akan membicarakan cara-cara mengatur dan membagi-bagikan harta warisan kepada ahli waris menurut hukum Islam.
2. Melukiskan latar belakang masalah
Komunikator menerangkan sejarah topik, membatasai pengertian, dan menyatakan masalah-masalah utamanya. Mengapa timbul persoalan itu, apa hubungannya dengan khalayak, dan mengapa dipilih masalah itu. Seorang mubaligh yang berbicara tentang pentingnya infak memulai pidatonya seperti ini:
Saudara-saudara, sudah lama kita mengetahui bahwa banyak usaha amal shalih yang tidak dapat dijalankan karena kekuarangan dana. Islam mengajarkan cara mengumpulkan dana yang disebut infak. Infak adalah kelebihan harta yang digunakan untuk proyek yang produktif bagi masyarakat. Al Quran mengatakan bahwa infak adalah satu ciri orang yang takwa, ciri saudara-saudara yang beriman kepada Allah dan hari akhir…
3. Menghubungkan dengan peristiwa mutakhir atau kejadian yang tengah menjadi pusat perhatian khalayak
Dengan menambatkan pembicaraan kepada fokus perhatian khalayak, kita mempunyai peluangyang baik untuk memasukkan ide-ide kita dan menimbulkan kesan yang kuat. Sebagai contoh, pada tanggal 8 Desember 1941, Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat, menyamoaikan pidato pernyataan perang kepada Jepang di depan kongres dengan pidato seperti ini:
Kemarin, 7 Desember 1941 –tanggal yang akan tetap abadi- Amerika Serikat tiba-tiba dan secara sengaja diserang oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara Kerajaan Jepang…
4. Menghubungkan dengan peristiwa yang sedang diperingati
Ini biasanya dilakukan dalam pidato untuk memperingati hari bersejarah, bangunan baru, atau orang besar yang sudah tiada. Cara ini dapat pula dipakai pada pesta kelahiran, perkawinan, selamatn, atau upacara kematian. Seorang mubaligh muda memulai pidatonya dalam peringatan maulud nabi sebagai berikut:
Saudara-saudara, hadirin sekalian!
Alangkah bahagianya kita, kaum muslimin, pada hari ini. Pada hari ini, kita masih diberikan kesempatan umur sehingga kita dapat memperingati kelahiran orang yang paling kita junjung tinggi, Nabi Besar Muhammad SAW. Banyak hikmah yang dapat kita petik dari sejarah kelahiran Rasulullah…
5. Menceritakan pengalaman pribadi
Pengalaman pembicara yang menarik dapat membuka minat pendengar. Pengalaman tersebut akan terasa “dekat” dan “nyata”, sebab orang yang mengalaminya hadir ditengah-tengah khalayak. Dalam sebuah kampanye Pemilu tahun 1977, seorang juru kampanye memulai pidatonya seperti ini:
Dua hari yang lalu saya berpidato di tengah-tengah rakyat kecil di Sukabumi. Udara terik membakar, lapangan penuh sesak, dan panggung tempat saya berdiri dipenuhi pemuda-pemuda belasan tahun. Tidak jauh dati panggung berdiri seorang kakek. Mukanya sudah keriput, punggungnya sudah bongkok, tapi… pada matanya saya lihat cahaya harapan yang menyala-nyala untuk turut berjuang dengan partai saya…
6. Membuat humor
Pembukaan jenis ini adalah yang paling sukar. Bahkan beberapa penulis buku teknik berpidato tidak menganjurkannya. Tetapi bila berhasil, pembukaan seperti ini amat berkesan bagi pendengar. Seorang Jenderal pensiunan berpidato di hadapan para purnawiraan dengan pembukaan seperyti ini:
Saudara-saudara, sesama purnawiraan!
Sebagai mantan prajurit kita patut berbangga hati, sebab tentara itu serba bisa. Tentara Indonesia itu bisa menjalankan fungsi apa saja: jadi bupati, bisa; jadi gubernur, bisa; jadi presiden, bisa; yang tidak bisa adalah menjalankan fungsi utama yaitu…berperang!
Dengan pembukaab seperti itu, hadirin mungkin tertawa terpingkal-pingkal atau mungkin juga …marah dan memaki pembicara.
Banyak sekali cara yang dapat kita lakukan untuk membuka pidato. Coba lihat kembali hal-hal yang dapat dijadikan topik bahasan pidato pada halaman 3, itu pun dapat dijadikan sumber untuk membuka pidato.
Pengembangan isi pidato pada dasarnya dilakukan dengan cara memberikan uraian-uraian penjelasan terhadap hal-hal yang disampaikan dalam tahap pembukaan. Dalam tahap mengembangkan isi pidato, gunakan teknik-teknik pengembangan poko bahasan yang sudah diuraikan di halaman 6, yakni: penjelasan, contoh, analogi, statistik, testimoni, dan perualangan.
Penutupan pidato adalah sama pentingnya den gan pembukaan pidato, dan sangat menentukan keberhasilan pidato yang kita lakukan. Penutupan pidato dapat dilakukan dengan cara-cara:
1. Menyimpulkan atau mengemukakan ikhtisar pembicaraan
2. Menyatakan kembali gagasan utama dengan kalimat dan kata yang berbeda
3. Mendorong khalayak untuk bertindak
4. Mengakhiri dengan klimaks
5. Mengutamakan kutipan dari kitab suci, peribahasa, atau ucapan seorang ahli
6. Menceritakan contoh yang berupa ilustrasi dari tema oembicaraan
7. Menerangkan maksud sebenarnya pribadi pembicara
8. Memuji dan mengharghai khalayal
9. Membuat pernyataan yang humoris atau anekdot lucu.
PRINSIP-PRINSIP PENYAMPAIAN PIDATO
Dalam menyampaikan pidato ada tiga prinsip atau rukun pidato, yakni:
1. Pelihara kontak visual dan kontak mental dengan khalayak pendengar (Kontak).
2. Gunakan Lambang-lambang auditif; atau usahakan agar suara Anda memberikan makna yang lebih kaya pada bahasa Anda (Olah Vokal).
3. Berbicaralah dengan seluruh kepribadian Anda; dengan wajah, tangan, dan tubuh Anda (Olah Visual).
PENUTUP
Dengan mengetahui teknik-teknik membuka dan menutup pidato, bagi Anda terbuka beberapa alternatif yang dapat Anda pilih. Tetapi pada akhirnya, mutu teknik-teknik itu tergantung pada kreativitas Anda sendiri. Selamat belajar dan mencoba. Semoga berhasil.
Beberapa tahun yang lalu, siapa di antara kita yang tidak mengenal K.H. Zainudin M.Z? Siapa di antara kita yang tidak kenal dengan Aa Gym? Atau siapa di antara kita yang tidak kenal Bung Karno? Semua orang pasti mengenalnya. Mengapa mereka begitu dikenal luas oleh banyak orang? Apa kelebihan mereka dibanding orang-orang lainnya? Semuanya sepakat, kita mengenal ketiga tokoh itu karena mereka sangat pandai berbicara, pandai berdakwah, pandai berpidato.
Memang benar, orang yang tadinya bukan siapa-siapa mendadak bisa berubah menjadi orang penting dan terkenal hanya karena ia memiliki kemampuan berbicara yang menarik dan meyakinkan orang lain. Kemampuan berbicara diyakini dapat meningkatkan kualitas eksistensi dan aktualisasi seseorang di tengah-tengah lingkungannya. Kemampuan orang dalam berbicara dapat menjadikan orang itu memiliki daya tarik dan pesona luar biasa bagi orang lain, sehingga ia menjadi idola yang didambakan oleh banyak orang.
Secara alamiah, setiap orang mampu berbicara. Berbicara sudah merupakan aktivitas rutin kita sehari-hari. Hasil penelitian ilmiah membuktikan, bahwa sebagian besar waktu bangun kita digunakan untuk berbicara dengan orang lain. Nyaris tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahan untuk tidak berbicara. Kita boleh jadi tahan untuk tidak makan dan minum selama tiga hari berturut-turut (bahkan mungkin lebih), tetapi siapa yang tahan berpuasa bicara selama itu?
Namun demikian, sebagaimana telah diungkapkan tadi, berbicara yang akan dapat meningkatkan kualitas eksistensi (keberadaan) kita di tengah-tengah orang lain, bukanlah sekadar berbicara, tetapi berbicara yang menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Dengan kata lain, kita mesti berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika.
Retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang secara langsung bertatap muka. Oleh karena itu, istilah retorika seringkali disamakan dengan istilah pidato. Pada kesempatan ini, kita akan sama-sama membicarakan dan berlatih bagaimana kita harus mempersiapkan dan melakukan pidato, agar pidato kita itu memiliki daya tarik, informatif, rekreatif, dan persuasif.
JENIS-JENIS PIDATO
Berdasarkan pada ada tidaknya persiapan, sesuai dengan cara yang dilakukan waktu persiapan, kita dapat membagi jenis pidato kedalam empat macam, yaitu: impromtu, manuskrip, memoriter, dan ekstempore.
Pidato impromtu adalah pidato yang dilakukan secara tiba-tiba, spontan, tanpa persiapan sebelumnya. Apabila Anda menghadiri sebuah acara pertemuan, tiba-tiba Anda dipanggil untuk menampaikan pidato, maka pidato yang Anda lakukan disebut impromtu.
Bagi juru pidato yang berpengalaman, impromtu memiliki beberapa keuntungan: (1) Impromtu lebih dapat mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya, karena pembicara tidak memikirkan lebih dulu pendapat yang disampaikannya, (2) Gagasan dan pendapatnya dating secara spontan, sehingga tampak segar dan hidup, dan (3) Impromtu memungkinkan Anda terus berpikir.
Tetapi bagi juru pidato yang masih “hijau”, belum berpengalaman, keuntungan-keuntungan di atas tidak akan tampak, bahkan dapat mendatangkan kerugian sebagai berikut: (1) Impromtu dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah, karena dasar pengetahuan yang tidak memadai, (2) Impromtu mengakibatkan penyampaian yang tersendat-sendat dan tidak lancar, (3) gagasan yang disampaikan bisa “acak-acakan” dan ngawur, dan (4) Karena tiadanya persiapan, kemungkinan “demam panggung” besar sekali. Jadi, bagi yang belum berpengalaman, impromtu sebaiknya dihindari daripada Anda tampak “bodoh” di hadapan orang lain.
Pidato Manuskrip adalah pidato dengan naskah. Juru pidato membacakan naskah pidato dari awal sampai akhir. Di sini lebih tepat jika kita menyebutnya”membacakan pidato” dan bukan “menyampaikan pidato”. Pidato manuskrip perlu dilakukan jika isi yang disampaikan tidak boleh ada kesalahan. Misalnya, ketika Anda diminta untuk melaporkan keadaan keuangan DKM, berapa pemasukan, dari mana saja sumbernya, dan berapa pengeluaran serta untuk apa uang dikeluarkan, Anda perlu menuliskannya dalam bentuk naskah dan baru kemudian membacakannya.
Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut: (1) Kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya sehingga dapat menyampaikan arti yang tepat dan pernyataan yang gamblang, (2) Pernyataan dapat dihemat, karena manuskrip dapat disusun kembali, (3) Kefasihan bicara dapat dicapai karena kata-kata sudah disiapkan, (4) Hal-hal yang ngawur atau menyimpang dapat dihindari, dan (5) Manuskrip dapat diterbitkan atau diperbanyak.
Namun demikian, ditinjau dari proses komunikasi, pidato manuskrip kerugiannya cukup berat: (1) Komunikasi pendengar akan akan berkurang karena pembicara tidak berbicara langsung kepada mereka, (2) Pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik karena ia lebih berkonsentrasi pada teks pidato, sehingga akan kehilangan gerak dan bersifat kaku, (3) Umpan balik dari pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek atau memperpanjang pesan, dan (4) Pembuatannya lebih lama.
Pidato Memoriter adalah pidato yang ditulis dalam bentuk naskah kemudian dihapalkan kata demi kata, seperti seorang siswa madrasah menyampaikan nasihat pada acara imtihan. Pada pidato jenis ini, yang penting Anda memiliki kemampuan menghapalkan teks pidato dan mengingat kata-kata yang ada di dalamnya dengan baik. Keuntungannya (jika hapal), pidato Anda akan lancar, tetapi kerugiannya Anda akan berpidato secara datar dan monoton, sehingga tidak akan mampu menarik perhatian hadirin.
Pidato Ekstempore adalah pidato yang paling baik dan paling sering digunakan oleh juru pidato yang berpengalaman dan mahir. Dalam menyampaikan pidato jenis ini, juru pidato hanya menyiapkan garis-garis besar (out-line) dan pokok-pokok bahasan penunjang (supporting points) saja. Tetapi, pembicara tidak berusaha mengingat atau menghapalkannya kata demi kata. Out-line hanya merupakan pedoman untuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran kita. Keuntungan pidato ekstempore ialah komunikasi pendengar dan pembicara lebih baik karena pembicara berbicara langsung kepada pendengar atau khalayaknya, pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan penyajiannya lebih spontan. Pidato jenis ini memerlukan latihan yang intensif bagi pelakunya.
Jenis-jenis pidato juga dapat kita identifikasi berdasarkan tujuan pokok pidato yang kita sampaikan. Berdasarkan tujuannya, kita mengenal jenis-jenis pidato: pidato informatif, pidato persuasif, dan pidato rekreatif. Pidato informatif adalah pidato yang tujuan utamanya untuk menyampaikan informasi agar orang menjadi tahu tentang sesuatu. Pidato pesuasif adalah pidato yang tujuan utamanya membujuk atau mempengaruhi orang lain agar mau menerima ajakan kita secara sukarela bukan sukar rela. Pidato rekreatif adalah pidato yang tujuan utamanya adalah menyenangkan atau menghibur orang lain. Namun demikian, perlu kita sadari bahwa dalam kenyataannya ketiga jenis pidato ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan di antara ketiganya semata-mata hanya terletak pada titik berat (emphasis) tujuan pokok pidato kita.
TAHAP PERSIAPAN PIDATO
Sebelum berpidato, berdakwah, atau berceramah, kita harus mengetahui lebih dulu apa yang akan kita sampaikan dan tingkah laku apa yang diharapkan dari khalayak kita; bagaimana kita akan mengembangkan topik bahasan. Dengan demikian, dalam tahap persiapan pidato, ada dua hal yang harus kita lakukan, yaitu: (1) Memilih Topik dan Tujuan Pidato dan (2) Mengembangkan Topik Bahasan.
Memilih Topik dan Tujuan Pidato
Seringkali kita menjadi bingung ketika harus mencari topik yang baik, seakan-akan dunia ini kekeringan bahan pembicaraan, seakan-akan kita tidak memiliki keahlian apa-apa. Jangan bingung, karena sebenarnya setiap orang memiliki keahlian masing-masing, hanya kita seringkali tidak menyadarinya. Mang Endang mungkin tidak dapat berbicara tentang hukum waris dengan baik, tetapi Mang Endang dapat dengan lancar berbicara tentang cara memperbaiki mobil yang rusak. Pak Haji Holis mungkin akan sangat lancar berbicara tentang hukum waris, tetapi hampir pasti beliau akan gagap jika diminta menjelaskan bagaimana caranya memperbaiki mobil yang mogok. Inilah yang disebut keahlian spesifik. Setiap orang punya potensi untuk ahli di bidangnya masing-masing. Hal yang akan menjadi masalah bagi seseorang ketika harus berpidato adalah jika orang itu memaksakan diri berbicara tentang persoalan yang tidak dikuasainya, hal yang tidak dipahaminya (Numawi kitu, ulah maksakeun anjeun nyarios anu urang nyalira henteu ngartos kana naon anu dicarioskeun!).
Untuk membantu Anda menemukan topik bahasan dalam pidato, Profesor Wayne N. Thompson menyusun sitematika sumber topik sebagai berikut:
1. Pengalaman Pribadi:
a. Perjalanan
b. Tempat yang pernah dikunjungi
c. Wawancara dengan tokoh
d. Kejadian luar biasa
e. Peristiwa lucu
f. Kelakukan atau adat yang aneh
2. Hobby dan Keterampilan:
a. Cara melakukan sesuatu
b. Cara bekerja sesuatu
c. Peraturan dan tata cara
3. Pengalaman Pekerjaan dan Profesi
a. Pekerjaan tambahan
b. Profesi Keluarga
4. Masalah Abadi:
a. Agama
b. Pendidikan
c. Masalah kemasyarakatan
d. Persoalan pribadi
5. Kejadian Khusus:
a. Perayaan atau peringatan khusus (Misalnya, Maulud Nabi)
b. Peristiwa yang erat kaitannya dengan peringatan
6. Minat Khalayak:
a. Pekerjaan
b. Rumah tangga
c. Kesehatan dan penampilan
d. Tambahan ilmu
Kriteria Topik yang Baik
Untuk menentukan topik yang baik, kita dapat menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut:
1. Topik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan Anda
Topik yang paling baik adalah topik yang memberikan kemungkinan Anda lebih tahu daripada khalayak, Anda lebih ahli dibandingkan dengan kebanyakan pendengar. Jika Anda merupakan orang yang paling tahu tentang tata cara sholat yang baik dibandingkan dengan orang lain, maka berpidatolah dengan tema atau topik itu; sebaliknya jika Anda tidak begitu paham tentang tata cara sholat yang baik, jangan pernah Anda memaksakan diri untuk berbicara tentang masalah itu.
2. Topik harus menarik minat Anda
Topik yang enak dibicarakan tentu saja adalah topik yang paling Anda senangi atau topik yang paling menyentuh emosi Anda. Anda akan dapat berbicara lancar tentang kaitan berpuasa dengan ketentraman hati, sebab Anda pernah merasa tidak tenang ketika pernah tidak berpuasa secara sengaja di bulan ramadhan.
3. Topik harus menarik minat pendengar
Dalam berdakwah atau berpidato, kita berbicara untuk orang lain, bukan untuk diri kita sendiri. Jika tidak ingin ditinggalkan pendengar atau diacuhkan oleh hadirin, Anda harus berbicara tentang sesuatu yang diminati mereka. Walaupun hal-hal yang menarik perhatian itu sangat tergantung pada situasi dan latar belakang khalayak/hadirin, namun hal-hal yang bersifat baru dan indah, hal-hal yang menyentuh rasa kemanusiaan, petualangan, konflik, ketegangan, ketidakpastian, hal yang berkaitan dengan keluarga, humor, rahasia, atau hal-hal yang memiliki manfaat nyata bagi hadirin adalah topik-topik yang akan menarik perhatian.
4. Topik harus sesuai dengan pengetahuan pendengar
Betapapun baiknya topik, jika tidak dapat dicerna oleh khalayak, topik itu bukan saja tidak menarik tetapi bahkan akan membingungkan mereka. Oleh karena itu, sebelum Anda menentukan topik dakwah, ketahuilah terlebih dahulu bagaimana rata-rata tingkat pengetahuan pendengar yang menjadi khalayak sasaran pidato Anda. Gunakanlah bahasa, gaya bahasa, dan istilah-istilah yang dimengerti oleh hadirin, bukan istilah-istilah yang hanya dipahami oleh Anda (meskipun istilah itu keren sekali).
5. Topik harus jelas ruang lingkup dan pembatasannya
Topik yang baik tidak boleh terlalu luas, sehingga setiap bagian hanya memperoleh ulasan sekilas saja, atau “ngawur”. Misalnya, Anda memilih topik Agama, tetapi kita tahu agama itu luas sekali. Agama bisa menyangkut moralitas, sistem kepercayaan, cara beribadat, dan lain-lain. Agar topik kita jelas, ambilah misalnya tentang cara beribadat, lebih jelas lagi ambilah topik tentang sholat yang khusu’, dan seterusnya.
6. Topik harus sesuai dengan waktu dan situasi
Maksudnya, kita harus memilih topik pidato atau topik dakwah yang sesuai dengan waktu yang tersedia dan situasi yang terjadi. Jika Anda diberikan waktu untuk berbicara selama 10 menit, janganlah Anda memilih topik yang terlalu luas yang tidak mungkin dijelaskan dalam waktu 10 menit. Jika Anda harus berbicara di hadapan para santri yang rata-rata usianya belum akil baligh, janganlah Anda memilih topik dakwah tentang tata cara hubungan suami-istri, bicaralah tentang kebersihan sekolah, misalnya.
7. Topik harus dapat ditunjang dengan bahan yang lain
Jika Anda memilih topik tentang Hadits Shahih dan Dhoif, lengkapi bahan pembicaraan Anda dengan sumber-sumber rujukan (bisa berupa: kitab, buku, atau perkataan ulama) yang sesuai.
Merumuskan Judul Pidato
Hal yang erat kaitannya dengan topik adalah judul. Bila topik adalah pokok bahasan yang akan diulas, maka judul adalah nama yang diberikan untuk pokok bahasan itu. Seringkali judul telah dikemukakan lebih dahulu kepada khalayak, karena itu judul perlu dirumuskan terlebih dahulu. Judul yang baik harus memenuhi tiga syarat, yaitu: relevan, propokatif, dan singkat. Relevan artinya ada hubungannya dengan pokok-pokok bahasan; Propokatif artinya dapat menimbulkan hasrat ingin tahu dan antusiasme pendengar; Singkat berarti mudah ditangkap maksudnya, pendek kalimatnya, dan mudah diingat.
Menentukan Tujuan Pidato
Ada dua macam tujuan pidato, yakni: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pidato biasanya dirumuskan dalam tiga hal: memberitahukan (informatif), mempengaruhi (persuasif), dan menghibur (rekreatif).
Tujuan khusus ialah tujuan yang dapat dijabarkan dari tujuan umum. Tujuan khusus bersifat kongkret dan sebaiknya dapat diukur tingkat pencapaiannya atau dapat dibuktikan segera.
Hubungan antara topik judul, tujuan umum, dan tujuan khusus dapat dilihat pada contoh-contoh di bawah ini:
1. Topik : Faedah memiliki sifat pemaaf
Judul : Pemaaf Sumber Kebahagiaan
Tujuan Umum : Informatif (memberi tahu)
Tujuan Khusus: Pendengar mengetahui bahwa:
a. Sifat dendam menimbulkan gangguan jasmani dan rohani
b. Sifat pemaaf menimbulkan ketentraman jiwa dan kesehatan
2. Topik : Keuntungan mengikuti sholat berjamaah
Judul : Sholat berjamaah adalah keutamaan sholat
Tujuan Umum : Mempengaruhi (Persuasif)
Tujuan Khusus :
a. Pendengar memperoleh keyakinan tetantang keutamaan sholat berjamaah
b. Pendengar berbondong-bondong sholat berjamaah di masjid
3. Topik : Kisah-kisah lucu zaman Nabi dan Khalifah
Judul : Yang benar menang, yang salah kalah
Tujuan Umum : Menghibur (rekreatif)
Tujuan Khusus :
Pendengar dapat menikmati kisah lucu Ratu Balqis dikerjai oleh Nabi Sulaiman, Siti Zulaikha menggoda Nabi Yusuf, atau Abu Nawas menjawab teka-teki raja, dan lain-lain.
Perlu diingat, bahwa dalam kenyataannya tidak ada pidato yang berdiri sendiri. Sebuah pidato atau topik pidato bisa berisi ketiga-tiganya; artinya, dalam pidato atau dakwah bisa ada unsur informatif, sekaligus persuasif dan rekreatif. Dengan kata lain, dalam sebuah kegiatan berdakwah, bisa ada unsur memberitahu, mempengaruhi (mengajak), dan juga menghibur. Coba Anda ingat kembali, bagaimana K.H. Zainudin M.Z. berdakwah, di samping memberi ceramah, beliau pun menyeru dan ngabodor. Dakwah yang baik adalah yang mengandung ketiga unsur tujuan tersebut.
Teknik Mengembangkan Pokok Bahasan
Bila topik yang baik sudah ditemukan, kita memerlukan keterangan untuk menunjang topik tersebut. Keterangan penunjang (supporting points) dipergunakan untuk memperjelas uraian, memperkuat kesan, menambah daya tarik, dan mempermudah pengertian.
Ada enam macam teknik pengembangan bahasan dalam berpidato:
1. Penjelasan
2. Contoh
3. Analogi
4. Testimoni
5. Statistik
6. Perulangan
Penjelasan. Penjelasan adalah memberikan keterangan terhadap istilah atau kata-kata yang disampaikan. Memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan cara memberikan pengertian atau definisi. Misalnya, istilah Iman kepada Allah Anda jelaskan dengan kalimat: “Iman adalah rasa percaya dan yakin akan kebenaran adanya Allah di dalam hati dan dibuktikan dengan perbuatan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.”
Contoh. Contoh adalah upaya untuk mengkongkretkan gagasan, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Contoh dalam pidato dapat berupa cerita yang rinci yang disebut ilustrasi. Untuk memberikan contoh tetantang kesabaran, misalnya Anda menggunakan cerita tentang kesabaran Nabi Ayub dalam menghadapi cobaan Allah melalui penyakit kulit yang dideritanya.
Analogi. Analogi adalah perbandingan antara dua hal atau lebih untuk menunjukkan persamaan atau perbedaannya. Ada dua macam analogi: analogi harfiyah dan analogi kiasan.
Analogi harfiyah (literal analogy) adalah perbandingan di antara objek-objek dari kelompok yang sama, karena adanya persamaan dalam beberapa aspek tertentu. Misalnya, membandingkan manusia dengan monyet secara biologis. Analogi kiasan adalah perbandingan di antara objek-objek di antara kelompok yang tidak sama. Misalnya, membandingkan ke-Esaan Allah dengan menggunakan ayat Al-Quran dan Injil.
Testimoni. Testimoni ialah pernyataan ahli yang kita kutip untuk menunjang pembicaraan kita. Pendapat ahli itu dapat kita ambil dari pidato seorang ahli, tulisan di surat kabar, acara televisi, dan lain-lain, termasuk kutipan dari kitab suci, hadits, dan sejenisnya. Misalnya, untuk memperkuat perkataan Anda tentang betapa mulianya akhlak Nabi Muhammad SAW, Anda mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah atau Bukhori-Muslim.
Statistik. Statistik adalah angka-angka yang dipergunakan untuk menunjukkan perbandingan kasus dalam jenis tertentu. Statistik diambil untuk menimbulkan kesan yang kuat, memperjelas, dan meyakinkan. Misalnya, untuk melukiskan betapa bokbroknya akhlak generasi muda di Indonesia, Anda menggunakan kalimat, “Wahai saudara-saudara, menurut hasil penelitian, saat ini lebih dari 65 persen remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks sebelum nikah…”
Perulangan. Perulangan adalah menyebutkan kembali gagasan yang sama dengan kata-kata yang berbeda. Perulangan berfungsi untuk menegaskan dan mengingatkan kembali.
Dengan menggunakan keenam teknik pengembangan pokok bahasan tersebut (secara berganti-ganti), maka pidato atau dakwah yang Anda sampaikan insya Allah tidak akan membosankan pendengar, tapi sebaliknya dakwah Anda akan tampak penuh variasi dan tidak membosankan untuk didengar.
TAHAP PENYUSUNAN PIDATO
Seringkali kita mendengar seseorang yang berpidato panjang tanpa memperoleh apa-apa daripadanya selain kelelahan dan kebosanan. Hal ini biasanya disebabkan pembicara mempunyai bahan yang banyak tetapi tidak mampu mengorganisasikannya. Pidato yang tidak teratur, bukan hanya menjengkelkan pendengarnya, tetapi juga akan membingungkan pembicaranya itu sendiri. Ibarat pakaian yang harganya sangat mahal, pasti akan membuat orang yang melihatnya tertawa sisnis jika dipakai secara acak-acakan. Herbert Spencer pernah berkata, “Kalau pengetahuan orang itu tidak teratur, maka makin banyak pengetahuan yang dimilikinya, makin besar pula kekacauan pikirannya.”
Pada pidato, keteraturan merangkai kata-kata akan sangat menentukan daya tarik pidato itu sendiri. Bila tentara bermain-main dengan peluru, maka orator (jago pidato) bermain dengan kata-kata. Bagaimana kata-kata itu harus kita mainkan dalam pidato? Kita akan membahasnya secara teknis.
Prinsip-prinsip Komposisi Pidato
Banyak cara menyusun pesan pidato, tetapi semuanya harus didasari dengan tiga prinsip komposisi. Prinsip-prinsip ini mempengaruhi seluruh organisasi pesan. Raymond S. Ross berkata, “These three great rhetorical principles…have a profound bearing upon how we should organize messages.” Ketiga prinsip itu adalah: kesatuan (unity), pertautan (coherence), dan titik berat (emphasis).
Kesatuan (unity)
Komposisi yang baik harus merupakan kesatuan yang utuh, yang meliputi kesatuan dalam isi, tujuan, dan sifat (mood). Dalam isi, harus ada gagasan tunggal yang mendominasi seluruh uraian, yang menentukan dalam pemilihan bahan-bahan penunjang. Bila tema dakwah kita adalah “Pembuktian Adanya Tuhan Secara Aqliyah”, maka kita tidak membicarakan sifat-sifat Tuhan, macam-macam Tuhan, atau dalil-dalil naqli tentang adanya Tuhan. Di sini kita mungkin hanya membicarakan argumentasi logika dan moral tentang keberadaan Tuhan dihubungkan dengan mahluk ciptaan-Nya; setiap benda ciptaan dihubungkan dengan yang menciptakannya; ada ciptaan pasti ada pencipta.
Komposisi juga harus mempunyai satu macam tujuan. Satu tujuan di antara yang tiga -memberitahukan, mempengaruhi, dan menghibur- harus dipilih. Dalam pidato mempengaruhi (persuasif) boleh saja kita menyelipkan cerita-cerita lucu, sepanjang cerita lucu itu menambah daya persuasi. Bila cerita lucu itu tidak ada hubungannya dengan persuasi, betapa pun menariknya ia harus kita buang. Dalam pidato informatif, humor dipergunakan dengan pertimbangan dapat memperjelas uraian.
Kesatuan juga harus tampak dalam sifat pembicaraan (mood). Sifat pembicaraan mungkin serius, informal, formal, anggun, atau bermain-main. Kalau Anda memilih sifat informal, maka suasana formalitas harus mendominasi seluruh uraian. Ini menentukan pemilihan bahan, gaya bahasa, atau pemilihan kata-kata. Misalnya, dalam suasana informal gaya pidato seperti bercakap-cakap (conversational) dan akrab (intimate) lebih tepat untuk digunakan dibanding gaya pidato ceramah.
Untuk pempertahankan kesatuan dalam pidato, bukan saja diperlukan ketajaman pemikiran, tetapi juga kemauan untuk membuang hal-hal yang mubazir. Kurangnya kesatuan akan menyebankan pendengar menilai pidato kita sebagai pidato yang “ngawur” bertele-tele, tidak jelas apa yang dibicarakan, “meloncat-loncat”.
Pertautan (coherence)
Pertautan menunjukkan urutan bagian uraian yang berkaitan satu sama lain. Pertautan menyebabkan perpindahan dari pokok yang satu kepada pokok yang lainnya berjalan lancar. Sebaliknya, hilangnya pertautan menimbulkan gagasan yang tersendat-sendat atau pendengar tidak akan mampu menarik gagasan pokok dari seluruh pembicaraan. Ini biasanya disebabkan perencanaan yang tidak memadai, pemikiran yang ceroboh, dan penggunaan kata-kata yang jelek.
Untuk memelihara pertautan dapat dipergunakan tiga cara: ungkapan penyambung (connective phrases), pararelisme, dan gema (echo). Ungkapan penyambung adalah sebuah kata atau lebih yang digunakan untuk merangkaikan bagian-bagian. Contoh-contoh ungkapan penyambung: karena itu, walaupun, jadi, selain itu, sebaliknya, misalnya, sebagai contoh, dengan perkataan lain, sebagai ilustrasi, bukan saja, … dan sebagainya.
Paralelisme ialah mensejajarkan struktur kalimat yang sejenis dengan ungkapan yang sama untuk setiap pokok pembicaraan. Misalnya, “Ulama sebagai Pemuka Pendapat memiliki empat ciri: Ia mengetahui lebih banyak, ia berpendidikan lebih tinggi, ia mempunyai status sosial yang lebih terhormat, dan ia lebih sering bepergian ke luar sistem sosial dibandingkan dengan anggota masyarakat yang lain.”
Gema (echo) berarti kata atau gagasan dalam kalimat terdahulu diulang kembali pada kalimat baru. Pada contoh di bawah ini, yang dicetak miring adalah “gema”.
Keempat ciri ulama di atas sangat menentukan tingkat partisipasinya dalam mengemukakan pendapat. Yang disebut terakhir, yaitu sering bepergian ke luar sistem sosial, sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan ulama dalam menyerap ide-ide pembaruan.
Gema dapat berupa persamaan kata (sinonim), perulangan kata, kata ganti seperti itu, itu, hal tersebut, ia, mereka, atau istilah lain yang menggantikan kata-kata yang terdahulu.
Titik Berat (emphasis)
Bila kesatuan dan pertautan membantu pendengar untuk mengikuti dengan mudah jalannya pembicaraan, titik berat menunjukkan mereka pada bagian-bagian penting yang patut diperhatikan. Hal-hal yang harus dititikberatkan bergantung pada isis komposisi pidato, tetapipokok-pokoknya hampir sama. Gagasan utama (central ideas), ikhtisar uraian, pemikiran baru, perbedaan pokok, hal yang harus dipikirkan khalayak pendengar adalah contoh-contoh bagian yang harus dititikbrratkan, atau ditekankan. Dalam pesan tertulis, titik berat dapat dinyatakan dengan tanda garis bawah, huruf miring, huruf tebal, atau huruf besar. Dalam uraian lisan, titik berat dapat dinyatakan dengan hentian, tekanan suara yang dinaikkan, perubahan nada (intonasi), isyarat, dan sebagainya. Dapat pula didahului dengan keterangan penjelas seperti “Akhirnya sampailah pada inti pembicaraan saya”, atau “Saudara-saudara, yang terpenting bagi kita adalah …”, dan sebagainya.
Teknik Menyusun Pesan Pidato
H.A. Overstreet, seorang ahli ilmu jiwa untuk mempengaruhi manusia, berkata, “let your speech march”. Suruh pidato Anda berbaris tertib seperti barisan tentara dalam suatu pawai. Pidato yang tersusun tertib (well-organized) akan menciptakan suasana yang favorable, membangkitkan minat, memperlihatkan pembagian pesan yang jelas, sehingga memudahkan pengertian, mempertegas gagasan pokok, dan menunjukkan perkembangan pokok-pokok pikiran secara logis. Pengorganisasian pesan dapat dilihat menurut isi pesan itu sendiri atau dengan mengikuti proses berpikir manusia. Yang pertama kita sebut organisasi pesan (messages organization) dan yang kedua disebut pengaturan pesan (message arrangement).
Organisasi Pesan
Organisasi pesan dapat mengikuti enam macam urutan (sequence), yaitu: deduktif, induktif, kronologis, logis, spasial, dan topikal. Urutan deduktif dimulai dengan menyatakan dulu gagasan utama, kemudian memperjelasnya dengan keterangan penunjang, penyimpulan, dan bukti. Sebaliknya, dalam urutan induktif kita mengemukakan perincian-perincian dan kemudian menarik kesimpulan. Jika Anda menyatakan dulu mengapa perlu menghentikan kebiasaan merokok, lalau menguraikan alasan-alasannya, Anda menggunakan urutan deduktif. Tetapi bila Anda menceritakan sekian banyak contoh dan pernyataan dokter tentang akibat buruk merokok dan kemudian Anda menyimpulkan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, maka Anda menggunakan urutan induktif.
Dalam urutan kronologis, pesan disusun berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa. Bila Anda diminta untuk berbicara tentang perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra dan Mi’raj, Anda dapat membagi pesan sebagai berikut: (1) Kisah Perjalanan Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan (2) Kisah Perjalan Nabi dan Malaikat Jibril dari Masjidil Aqsa ke Mustawan.
Dalam urutan logis, pesan disusun berdasarkan sebab ke akibat atau dari akibat ke sebab. Bila Anda menjelaskan proses kekufuran dari sebab-sebabnya lalu ke gejala-gekalnya, maka Anda mengikuti urutan logis dari sebab ke akibat. Tetapi jika Anda memulai pembicaraan dari gejala-gejala atau tanda-tanda kekufuran, seperti seringnya seseorang bebuat syirik, meninggalkan kewiban sholat, memuja kuburan, lalu kemudian menjelaskan sebab-sebabnya, maka Anda mengikuti urutan logis dari akibat ke sebab.
Dalam urutan spasial, pesan disusun berdasarkan tempat. Cara ini dipergunakan jika pesan berhubungan dengan subjek geografis atau keadaan fisik lokasi. Ceramah tentang kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam, dapat disusun: (1) Kisah perjuangan Nabi di ketika di Mekah dan (2) Kisah Perjuangan Nabi di Madinah.
Dalam urutan topikal, pesan disusun berdasarkan topik pembicaraan: klasifikasinya, dari yang penting ke yang kurang penting, dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dikenal ke yang asing. Ketika Anda diminta untuk berceramah tentang “Tiga Mutiara Hidup”, Anda menyusun topik pembicaraan mulai dari membicarakan masalah: Iman, Islam, dan Ikhsan, maka pidato Anda dapat dikatakan menggunakan urutan secara kronologis.
Pengaturan Pesan
Bila pesan sudah terorganisasi dengan baik, kita masih perlu menyesuaikan organisasi pesan ini dengan cara berpikir khalayak pendengar. Urutan pesan yang sejalan dengan proses berpikir manusia disebut oleh Alan H. Monroe sebagai motivated sequence (urutan bermotif). Menurut Monroe, ada lima tahap urutan bermotif: perhatian (attention), kebutuhan (needs), pemuasan (satisfaction), visualisasi (visualization), dan tindakan (action).
Dengan demikian, pidato yang baik dan efektif adalah pidato yang sejak awal mampu membangkitkan perhatian khalayak pendengar, mampu membuat pendengar merasakan adanya kebutuhan tertentu, memberikan petunjuk bagaimana cara memuaskan kebutuhan tersebut, dapat menggambarkan dalam pikirannya penerapan usul yang dianjurkan kepadanya, dan akhirnya mampu menggerakkan khalayak untuk bertindak sesuai anjuran kita.
Misalnya, kita akan mengajak seseorang untuk memotong rambutnya yang gondrong. Anda memuali pembicaraan dengan melontarkan perkataan: “Lihat rambutmu!!! Kutu-kutu bergelantungan dengan bebasnya…” Anda sedang memasuki tahap perhatian. Lalu Anda berkata lagi, “Kutu-kutu itu tentu membuat kepalamu gatal dan kamu pasti tidak bisa tidur nyenyak…” Anda tengah berada pada tahap membangkitkan kebutuhan. “Memotong rambut itu mudah dan murah, cukup dengan uang Rp 3.000 atau bahkan gratis…” Anda masuk pada tahap pemuasan. “Jika kamu tetap membiarkan rambutmu jabrig begitu dan membebaskan kutu-kutu menyedot darahmu, kamu tampak seperti orang kurang waras dan mustahil gadis-gadis di desa ini akan tertarik kepadamu…, tapi jika kamu cepat memotong dan merapihkan rambutmu, kutu-kutu itu akan segera mengucapkan selamat tinggal pada kepalamu dan gadis-gadis cantik akan mengucapkan selamat datang arjunaku…” Anda sudah masuk pada tahap visualisai. “Ayo, cukurlah rambutmu sekarang…!!!” Anda melakukan tahap tindakan.
Membuat Garis-garis Besar Pidato
Garis-garia besar (out-line) pidato merupakan pelengkap yang amat berharga bagi pembicara yang berpengalaman dan merupakan keharusan bagi pembicara yang belum berpengalaman. Garis besar pidato ibarat peta bumi bagi komunikator yang akan memasuki daerah kegiatan retorika. Peta ini memberikan petunjuk dan arah yang akan dituju. Garis besar yang salah akan mengacaukan “perjalanan” pembicaraan, dan garis besar yang teratur akan menertibkan “jalannya” pidato.
Garis-garis besar pidato yang baik terdiri dari tiga bagian: pengantar, isi, dan penutup. Dengan menggunakan urutan bermotif dari Alan H. Monroe, kita dapat membaginya menjadi lima bagian: perhatian, kebutuhan, pemuasan, visualisasi, dan tindakan. Perhatian ditempatkan pada pengantar; kebutuhan, pemuasan, dan visualisasi kita tempatkan pada isi; dan tindakan kita tempatkan pada penutup pidato.
TAHAP MENYAMPAIKAN PIDATO
Kita seringkali menyaksikan seseorang yang berpidato di mimbar bergetar (dalam bahasa Sunda: ngadegdeg), suaranya tersendat-sendat, muka dan badanya basah kuyup karena guyuran keringat yang mengalir deras. Hadirin diam, terkesima…bukan karena kagum pada penampilanny tetapi karena ………. kasihan dan tidak tega melihatnya. Dalamilmu komunikasi, keadaan seperti itu disebut kecemasan berkomunikasi (communication apprehension).
Kecemasan berkomunikasi adalah batu sandungan yang besar bagi seorang pembicara. Ia menghilangkan kepercayaan diri. Kecemasan berkomunikasi amat mempengaruhi kredibilitas komunikator. Betapa pun bagusnya pesan yang Anda sampaikan, betapa pun sistematisnya organisasi pesan yang Anda buat, tanpa kepercayaan diri dan kredibilitas, Anda akan kehilangan pengaruh dan pendengar sekaligus.
Sebab-sebab Kecemasan Komunikasi
Orang mengalami kecemasan komunikasi disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Ia tidak dapat memperkirakan apa yang diharpkan pendengar. Ia menghadapi sejumlah ketidakpastian. Untuk mengatasi sebab pertama ini, latihan dan pengalaman sangat diperlukan. Pengetahuan tentang retorika akan memberikan kepastian ke[adanya untuk memulai, melanjutkan, dan mengakhiri pembicaraan. Latihan-latihan akan memberikan pengalaman. Melalui latihan, ia akan dapat memastikan, atau paling tidak menduga, reaksi pendengarnya. Resepnya: “Bisa karena biasa”. Dale Carnegie memberikan nasihat yang singkat, “Lakukan apa yang Anda takut melakukannya”. Jadi, jika Anda takut berbicara di depan khalayak (orang banyak), cobalah berbicara di depan mereka.
Sayang sekali, orang yang takut berpidato justru selalu menghindari kesempatan untuk itu. Makin sering ia menghindari bicara, makin sulit ia untuk melakukannya. Bila suatu saat ia “terjebak” untuk berbicara, ia tentu akan mengalami peristiwa yang sangat traumatis. Terjadilah lingkaran setan, ia makin membenci pidato, dan karena kebenciannya itu ia akan gagal terus dalam berpidato. Akhirnya, terbentuklah citra diri (self image): Saya tidak mempunyai bakat untuk berpidato. Saya tidak mampu berpidato. Saya memang tidak dilahirkan untuk berpidato, tetapi untuk mendengar. Dengan citra diri seperti itu, ia tidak akan memiliki kepercayaan diri (self confidence). Tanpa kepercayaan diri, ia gagal. Kegagalan akan memperburuk lagi citra diri. Begitulah seterusnya, seperti lingkaran setan.
Kedua, orang menderita kecemasan komunikasi karena tahu ia akan dinilai oleh orang lain. Berhadapan dengan penilaian membuat orang menjadi gugup atau nervous. Penilaian dapat mengangkat dan menjatuhkan harga dirinya. Tetapi pada umumnya kita memperhatikan yang kedua. Bagaimana bila kita dipermalukan orang? Alangkah malunya bila humor yang kita buat tidak membuat orang tertawa, tetapi justru membuat orang menertawakan kita? Bagaimana kalau kita kelihatan tolol dan bodoh di hadapan orang banyak? Semua yang dutakutkan itu sebenarnya lebih banyak terdapat di dalam pikiran dan perasaan kita daripada dalam kenyataan. Seandainya pidato kita gagal, harga diri kita tidaklah akan jatuh serendah itu. Apalagi, berdasarkan pengalaman, kegagalan itu hanya terjadi pada percobaan-percobaan yang pertama saja, dan khalayk pendengar pun pasti memakluminya. Bukankah kita dulu waktu kecil pernah jatuh berkali-kali sebelum dapat berjalan dan berlari kencang seperti sekarang ini?
Ketiga, kecemasan komunikasi dapat menimpa pemula, bahkan mungkin juga menimpa orangorang yang terkenal sebagai pembicara yang baik. Hal ini dapat terjadi jika pembicara berhadapan dengan situasi yang asing dan ia tidak siap. Misalnya, ia diminta berbnicara dihadapan khalayak yang tidak ia kenal dan mereka tidak mengenalnya; atau ia harus berbicara tentang persoalan yang sama sekali tidak dikuasainya; atau ia tidak punya cukup waktu untuk membuat persiapan. Cara mengatasinya: lakukan analisis situasi dan analisis khalayak, carilah topik pembicaraan yang paling Anda kuasai sehingga Anda tampak kredibel.
Cara-cara Penyampaian Pidato
Tahapan yang dilakukan dalam menyampaikan pidato secara garis besar terdiri dari tiga tahap: (1) Tahap Membuka Pidato, (2) Tahap Mengembangkan Isi Pidato, dan (3) Tahap Menutup Pidato.
Pembukaan pidato adalah bagian penting dan menentukan. Kegagalan dalam membuka pidato akan menghancurkan seluruh komposisi dan presentasi pidato. Tujuan utama pembukaan pidato adalah membangkitkan perhatian , memperjelas latar belakang pembicaraan, dan menciptakan kesan yang baik mengenai komunikator. “Perhatian akan menentukan tindakan,” kata William James. Tetapi kesan pertama akan menentukan sikap. Karena itu seorang pembicara harus memulai pembicaraannya dengan penuh kesungguhan, sehingga ia kelihatan mantap, berwibawa, dan mampu. Ucapan-ucapan apologetis seperti minta maaf atau sikap merendahkan diri semuanya harus Anda hindari. Walaupun demikian, tidak baik pula Anda menepuk dada dan menyombongkan diri.
Hal pertama kali yang harus Anda lakukan dalam tahap ini (tahap pembukaan) adalah mengesankan agar pendengar siap untuk memperhatikan Anda. Bangkitkan perhatian pendengar pada Anda dan topik yang akan Anda sampaikan! Bagaimana caranya? Di bawah ini diuraikan pedoman dalam membuka pidato, Anda dapat memilih salah satu di antara cara-cara di bawah ini:
Langsung menyebutkan pokok persoalan.
Komunikator (orang yang melakukan pidato) menyebutkan ahal yang akan dibicarakannya dan memberikan kerangka pembicaraannya. Cara ini biasanya dilakukan bila topik adalah pusat perhatian khalayak. Di depan hadirin yang sudah lama menanti penjelasan tentang hukum waris (faro’id), seorang mubaligh memulai pidatonya sebagai berikut:
Saudara-saudara, pagi ini saya akan membicarakan cara-cara mengatur dan membagi-bagikan harta warisan kepada ahli waris menurut hukum Islam.
2. Melukiskan latar belakang masalah
Komunikator menerangkan sejarah topik, membatasai pengertian, dan menyatakan masalah-masalah utamanya. Mengapa timbul persoalan itu, apa hubungannya dengan khalayak, dan mengapa dipilih masalah itu. Seorang mubaligh yang berbicara tentang pentingnya infak memulai pidatonya seperti ini:
Saudara-saudara, sudah lama kita mengetahui bahwa banyak usaha amal shalih yang tidak dapat dijalankan karena kekuarangan dana. Islam mengajarkan cara mengumpulkan dana yang disebut infak. Infak adalah kelebihan harta yang digunakan untuk proyek yang produktif bagi masyarakat. Al Quran mengatakan bahwa infak adalah satu ciri orang yang takwa, ciri saudara-saudara yang beriman kepada Allah dan hari akhir…
3. Menghubungkan dengan peristiwa mutakhir atau kejadian yang tengah menjadi pusat perhatian khalayak
Dengan menambatkan pembicaraan kepada fokus perhatian khalayak, kita mempunyai peluangyang baik untuk memasukkan ide-ide kita dan menimbulkan kesan yang kuat. Sebagai contoh, pada tanggal 8 Desember 1941, Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat, menyamoaikan pidato pernyataan perang kepada Jepang di depan kongres dengan pidato seperti ini:
Kemarin, 7 Desember 1941 –tanggal yang akan tetap abadi- Amerika Serikat tiba-tiba dan secara sengaja diserang oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara Kerajaan Jepang…
4. Menghubungkan dengan peristiwa yang sedang diperingati
Ini biasanya dilakukan dalam pidato untuk memperingati hari bersejarah, bangunan baru, atau orang besar yang sudah tiada. Cara ini dapat pula dipakai pada pesta kelahiran, perkawinan, selamatn, atau upacara kematian. Seorang mubaligh muda memulai pidatonya dalam peringatan maulud nabi sebagai berikut:
Saudara-saudara, hadirin sekalian!
Alangkah bahagianya kita, kaum muslimin, pada hari ini. Pada hari ini, kita masih diberikan kesempatan umur sehingga kita dapat memperingati kelahiran orang yang paling kita junjung tinggi, Nabi Besar Muhammad SAW. Banyak hikmah yang dapat kita petik dari sejarah kelahiran Rasulullah…
5. Menceritakan pengalaman pribadi
Pengalaman pembicara yang menarik dapat membuka minat pendengar. Pengalaman tersebut akan terasa “dekat” dan “nyata”, sebab orang yang mengalaminya hadir ditengah-tengah khalayak. Dalam sebuah kampanye Pemilu tahun 1977, seorang juru kampanye memulai pidatonya seperti ini:
Dua hari yang lalu saya berpidato di tengah-tengah rakyat kecil di Sukabumi. Udara terik membakar, lapangan penuh sesak, dan panggung tempat saya berdiri dipenuhi pemuda-pemuda belasan tahun. Tidak jauh dati panggung berdiri seorang kakek. Mukanya sudah keriput, punggungnya sudah bongkok, tapi… pada matanya saya lihat cahaya harapan yang menyala-nyala untuk turut berjuang dengan partai saya…
6. Membuat humor
Pembukaan jenis ini adalah yang paling sukar. Bahkan beberapa penulis buku teknik berpidato tidak menganjurkannya. Tetapi bila berhasil, pembukaan seperti ini amat berkesan bagi pendengar. Seorang Jenderal pensiunan berpidato di hadapan para purnawiraan dengan pembukaan seperyti ini:
Saudara-saudara, sesama purnawiraan!
Sebagai mantan prajurit kita patut berbangga hati, sebab tentara itu serba bisa. Tentara Indonesia itu bisa menjalankan fungsi apa saja: jadi bupati, bisa; jadi gubernur, bisa; jadi presiden, bisa; yang tidak bisa adalah menjalankan fungsi utama yaitu…berperang!
Dengan pembukaab seperti itu, hadirin mungkin tertawa terpingkal-pingkal atau mungkin juga …marah dan memaki pembicara.
Banyak sekali cara yang dapat kita lakukan untuk membuka pidato. Coba lihat kembali hal-hal yang dapat dijadikan topik bahasan pidato pada halaman 3, itu pun dapat dijadikan sumber untuk membuka pidato.
Pengembangan isi pidato pada dasarnya dilakukan dengan cara memberikan uraian-uraian penjelasan terhadap hal-hal yang disampaikan dalam tahap pembukaan. Dalam tahap mengembangkan isi pidato, gunakan teknik-teknik pengembangan poko bahasan yang sudah diuraikan di halaman 6, yakni: penjelasan, contoh, analogi, statistik, testimoni, dan perualangan.
Penutupan pidato adalah sama pentingnya den gan pembukaan pidato, dan sangat menentukan keberhasilan pidato yang kita lakukan. Penutupan pidato dapat dilakukan dengan cara-cara:
1. Menyimpulkan atau mengemukakan ikhtisar pembicaraan
2. Menyatakan kembali gagasan utama dengan kalimat dan kata yang berbeda
3. Mendorong khalayak untuk bertindak
4. Mengakhiri dengan klimaks
5. Mengutamakan kutipan dari kitab suci, peribahasa, atau ucapan seorang ahli
6. Menceritakan contoh yang berupa ilustrasi dari tema oembicaraan
7. Menerangkan maksud sebenarnya pribadi pembicara
8. Memuji dan mengharghai khalayal
9. Membuat pernyataan yang humoris atau anekdot lucu.
PRINSIP-PRINSIP PENYAMPAIAN PIDATO
Dalam menyampaikan pidato ada tiga prinsip atau rukun pidato, yakni:
1. Pelihara kontak visual dan kontak mental dengan khalayak pendengar (Kontak).
2. Gunakan Lambang-lambang auditif; atau usahakan agar suara Anda memberikan makna yang lebih kaya pada bahasa Anda (Olah Vokal).
3. Berbicaralah dengan seluruh kepribadian Anda; dengan wajah, tangan, dan tubuh Anda (Olah Visual).
PENUTUP
Dengan mengetahui teknik-teknik membuka dan menutup pidato, bagi Anda terbuka beberapa alternatif yang dapat Anda pilih. Tetapi pada akhirnya, mutu teknik-teknik itu tergantung pada kreativitas Anda sendiri. Selamat belajar dan mencoba. Semoga berhasil.
Alangkah Senangnya Saya Apabila Anda Mau Meluangkan Waktu Anda Untuk Berkomentar di Postingan Kami Ini, Karena Akan MemperERAT tali persahabatan Para Blogger..
Berkomentar Yang Baik.. Jangan SPAM Lo ya.. Makasi...
EmoticonEmoticon